Sabtu, 21 Agustus 2010

Demam Jepang -> Korea (2)




Postingan kali ini kita melanjutkan tentang demam. Haha…
Ok, check this out!

Korea.
Seperti yang saya sampaikan di postingan sebelum ini, bahwa saya suka Korea karena melihat dramanya. Dari mata turun ke hati. Yup, pemain dramanya kinclong-kinclong. Uh, bikin mata melek terus…tapi, belakangan saya tahu banyak artis Korea yang melakukan oplas alias operasi plastik. Memang tidak semuanya sih, tapi SEBAGIAN BESAR. Nah, mengetahui ini saya kecewa. Bagaimana tidak, penelusuran saya di google memberikan saya gambar-gambar artis sebelum operasi plastik dan sesudahnya. Memang awalnya mereka melakukan itu gara-gara tidak good looking. Malah beberapa di antaranya tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok sebelum dan sesudah melakukan oplas. Lalu, untuk apa mereka oplas kalau sebenarnya dengan tidak oplas mereka justru sempurna? Dengan oplas mereka justru menambahkan sesuatu yang tidak alami ke dalam tubuh mereka, itulah yang membuatnya tidak sempurna. Hal ini menimbulkan gosip tidak enak di sana, para artis yang tidak oplas pun ikut digosipkan oplas. Dan, saya memiliki anggapan tentang artis Korea: antara yang 'asli' dan yang 'palsu' itu pun sulit dibedakan. Yup, negara ini meraih sebutan plastic surgery country.

Hal lainnya adalah manajemen artisnya yang hebat. Ya, saya mengikuti sedikit perkembangannya. Bagaimana manajemen artis menciptakan image yang wah terhadap artis mereka. Ya, artis memanglah aset yang mesti dijaga oleh manajemen. Tapi, ketika melihat artis Korea, saya menganggap bahwa manajeman mereka sungguh punya andil dalam mengorbitkan artisnya. Bagaimana tidak, persaingan dunia hiburan di sana sungguh ketat. Kita tidak akan menemukan sebuah grup vokal yang beranggotakan sebelas orang, sembilan orang, dan masing-masing anggotanya memiliki fans tersendiri. Sebut saja: Super Junior, SNSD a.k.a Girls Generation, After School, BEAST, dll. Bagaimana manajemen melindungi mereka dari gosip tak sedap, itu sungguh luar biasa. Fansnya pun luar biasa, bahkan ketika ada gosip tentang hubungan sesama artis fansnya memberikan kecaman yang juga, luar biasa terhadap artis yang digosipkan dekat dengan idola mereka. Menyeramkan.

Ketiga, fenomena bunuh diri di kalangan artis Korea cukup membuat saya berdecak. Tidak hanya satu-dua saja. Kebanyakan karena frustasi tentang karirnya, tuntutan biaya hidup, penampilan di depan umum, perselisihan dengan pihak manajemen. Hm, sebegitu pentingkah menjadi terkenal?

Di lain sisi, ada satu hal yang membuat saya heran. Bukankah Korea masih memiliki perselisihan dengan saudaranya di utara? Bukankah di sana masih ada yang namanya wajib militer? Lalu kenapa bisa hiburan di sana justru membooming? Bahkan mereka mengadakan kerjasama entertainment dengan negara 'serumpun' seperti Jepang, Taiwan, Cina, bahkan Thailand. Kalau mau dibandingkan dengan Indonesia:
1. Biarpun artis kita dituntut untuk berpenampilan menarik, oplas bukan prioritas utama mereka (walaupun memang ada yang melakukan oplas). Fenomena meminta ijin kedua orang tua untuk melakukan oplas saat cukup umur tidak terjadi di negara kita.
2. Biarpun artis kita memang public figure, tapi fansnya tidak terlalu mengagung-agungkan seperti yang terjadi di Korea. Kita sadar sepenuhnya bahwa, artis juga manusia.
3. Saya bersyukur pekerjaan menjadi entertainer di negara kita tidak banyak memakan korban bunuh diri. Alhamdulillah, sebagian besar menyeimbangkannya dengan agama sehingga mereka masih percaya Tuhanlah yang memberi segalanya, Ia pun yang mengambil milikNya kembali.


Baiklah, ketika kita sedang menikmati mimpi di tengah-tengah tidur kita yang nyenyak, ada baiknya kita harus ingat kapan kita akan terjaga. Ketika kita sedang demam, kita harus mengompresnya supaya cepat sembuh ^^

Jumat, 20 Agustus 2010

Demam Jepang -> Korea (1)





Pernah saya bertanya-tanya, apa yang membuat saya akhir-akhir ini suka pada hal-hal yang berbau Korea. Padahal dulu, saya suka sekali pada hal-hal yang berbau Jepang. Mengenai Jepang, memang awalnya saya tertarik untuk mempelajari hurufnya yang unik. Hanya sebatas itu. Beruntungnya, SMP saya membuka ekstrakurikuler baru: Bahasa Jepang. Kemudian saya suka mempelajari budayanya, mulai dari baju kimono dan yukata, desain rumahnya yang unik -yang terbuat dari kertas- dan pintu gesernya, tradisi minum tehnya, cara bicaranya yang pendek-pendek namun menghentak, tentang geisha, dan lain-lain. Tetapi tiba-tiba ketertarikan saya mulai luntur ketika dosen elektif saya menurunkan motivasi saya untuk belajar Jepang. Pertemuan pertama beliau mengatakan:


"…saya pikir kenapa fakultas keperawatan mengadakan elektif Bahasa Jepang? Mungkin karena Anda ingin menjadi perawat di Jepang? Kemudian saya mencari-cari artikel tentang kangoshi/kangofu (perawat) yang bekerja di Jepang. Ternyata, perawat yang ingin bekerja di Jepang harus melewati beberapa tes. Namun, setelah lulus tes, Anda tidak secara otomatis langsung menjadi perawat, melainkan ditempatkan di panti jompo…"

(penurunan motivasi tingkat 1)


"…jika Anda ingin bekerja di rumah sakit Jepang, maka Anda harus melewati satu tes lagi yaitu tes huruf kanji. Orang Jepang sendiri belum tentu bisa mempelajari huruf kanji ini…"

(penurunan motivasi tingkat 2)


Kemudian saya mendengar radio, dikatakan bahwa biaya hidup termahal adalah Negara Jepang. (penurunan motivasi tingkat 3)


Hal ini mempengaruhi pandangan saya tentang Jepang. Awal saya memilih elektif Bahasa Jepang memang bukan untuk bekerja di sana, memang belum terpikirkan oleh saya. Saya memilihnya karena sekedar suka dan ingin mempelajari Jepang. Namun dengan perkataan-perkataan tadi, itu justru membuat saya berpaling. Jujur waktu itu saya langsung ill feel dan ingin mengubah elektif saya ke psikologi saja, tapi pasti ribet. Jadinya saya teruskan walaupun semangat belajar saya menjadi kendor. Saya merasakan perbedaan ketika saya mempelajari Jepang waktu SMP dengan sekarang. Dulu, saya selalu berebut dengan teman lain untuk menjawab pertanyaan, yang juga berarti memperebutkan hadiah. Sekarang…nilai BC pun saya sudah bersyukur.

Nah, bagaimana dengan Korea? Simpel saja, saya suka karena artisnya. Wahaha…

Saya menganggap semua drama Asia yang ditayangkan di "TV Ikan" itu kalau logatnya bukan Jepang ya berarti dari Cina. Eh, ternyata tidak. Walaupun sama-sama Asianya (baca: sipit), ada yang dari Taiwan atau Korea. Nah, kebetulan drama yang membuat saya mematung di depan TV adalah drama Full House, Princess Hours, dan lebih membooming lagi, Boys Before Flowers. Dari mata, jatuh ke hati. Kemudian saya ingin tahu lebih banyak lagi tentang Korea.

Wah…nggak habis-habis nih kalau diteruskan. Haha…saya akan lanjutkan di posting berikutnya apa yang membuat mata saya terbuka lebar, tentang Korea. Hm, bagaimana dengan Anda? Apakah ada yang membuat Anda menjadi 'demam'?

Senin, 16 Agustus 2010

My Little Bride




Postingan kali ini tentang film Korea lagi. Judulnya My Little Bride. Film ini dibintangi oleh artis Korea yang imut, Moon Geun Young. Ceritanya berawal dari kakek Bo Eun (Moon Geun Young) dan Sang Min yang bersahabat. Mereka berdua berjanji akan menjodohkan anak-anak mereka. Namun karena keduanya sama-sama memiliki anak laki-laki, maka perjodohan itu pun jatuh kepada cucu mereka. Ketika kakek Bo Eun memberitahu ini, Bo Eun dan Sang Min merasa tidak siap. Pasalnya, Bo Eun masih sekolah dan Sang Min adalah playboy yang tidak siap untuk menikah. Melihat keduanya yang tidak setuju, kakek mereka berusaha menuntut orangtua masing-masing agar anak mereka mau menikah, bahkan kakek mereka pura-pura sekarat di rumah sakit agar kedua cucunya mau menikah.

Alhasil, keduanya pun menikah secara diam-diam. Keluarga mereka menyembunyikan pernikahan mereka, kecuali kepada sahabat Bo Eun dan kepala sekolahnya yang merupakan junior kakek Bo Eun. Keduanya berniat untuk berbulan madu di pulau Jeju. Namun di bandara Bo Eun berusaha untuk melarikan diri dengan ijin ke kamar mandi. Akhirnya, Sang Min pergi ke pulau Jeju sendirian. Di sana, ia bertemu dengan rombongan teman sekolah Bo Eun yang juga tour wisata. Ia berkali-kali ditanya soal Bo Eun oleh sahabat Bo Eun yang mulai curiga Sang Min selalu berjalan-jalan sendiri. Ia juga dicurigai oleh guru Bo Eun yang galak, Miss Kim. Sedangkan Bo Eun menghabiskan waktunya dengan Jung Woo, bintang lapangan baseball di sekolahnya. Sekembalinya dari pulau Jeju, Sang Min bertemu Bo Eun di depan rumah. Mereka pun berakting seperti baru pulang dari bulan madu.

Di sekolah, sahabat Bo Eun bertanya kepadanya tentang apa saja yang dilakukan Bo Eun selama Sang Min ke pulau Jeju. Ketika Bo Eun membeberkan bahwa ia berkencan dengan Jung Woo, sahabatnya pun marah dan kecewa karena selain Bo Eun telah memiliki suami, ternyata sahabatnya pun menyukai Jung Woo. Nah, saat Bo Eun menemani Jung Woo bertanding baseball, Bo Eun tidak mengetahui bahwa pertandingan itu disiarkan di televisi. Secara tak sengaja Sang Min melihatnya. Namun ia pura-pura tak tahu.

Konflik mulai memuncak ketika Sang Min memperoleh penempatan sebagai guru di sekolah Bo Eun. Mengetahui Sang Min diangkat menjadi guru, Miss Kim yang tadinya galak terhadap Sang Min mulai menaruh hati padanya. Ia menggoda Sang Min habis-habisan. Ia pun nekat mencari alamat Sang Min untuk mendatangi rumahnya. ini membuat Bo Eun dan Sang Min kelimpungan membereskan barang-barang yang bisa membongkar kedok mereka. Lama-lama, karena ketidaksengajaan, Miss Kim mulai mengetahui bahwa Sang Min dan Bo Eun adalah suami istri. Tingkah lakunya pun berubah kembali menjadi galak, ia tega menyuruh Bo Eun bekerja sendiri mengecat panggung. Masalah lain pun terjadi ketika adik Bo Eun memutar rekaman di ruang keluarga di mana terdapat gambar Bo Eun dan Jung Woo sedang kencan.

Hm, bagaimana akhirnya nasib Bo Eun, akankah ia dapat meneruskan cita-citanya ke universitas? Bagaimana dengan hubungannya, terus dengan Sang Min atau Jung Woo? Bagaimana dengan sahabatnya dan Miss Kim?

Sabtu, 14 Agustus 2010

My Favorite Teacher




Pernah punya guru favorit?
Pastinya pernah ya.

Sewaktu SMP saya punya guru favorit, sebut saja Mr. A dan Mr. B.

Mr. A adalah guru fisika yang suka bercanda walaupun sangat disiplin. Pelajaran fisika yang menjadi momok tidak lagi menegangkan. Saya tidak terpaku sama banyaknya rumus yang (meminjam istilah teman) alaihum gambreng >,< banyaknya naudzubillah… Dan, ternyata di momen inilah satu-satunya nilai 10 fisika yang saya dapatkan (menyedihkaaan T_T).

Mr. B adalah guru matematika yang sama sekali tidak suka bercanda malah lebih disiplin lagi. Beliau sangat cerdas di bidangnya. Malahan, buku diktat kami beliau sendiri yang menyusunnya. Waw, hebat. Terkadang beliau membuat soal yang membutuhkan pemikiran ekstra. Namun saya mencoba menganggap soal itu sebagai permainan saja, sehingga pelajaran tersebut menjadi mengasyikkan. Beberapa hal yang saya ingat dari guru saya yang satu ini adalah, kalau kita lebih memperhatikan lebih seksama sesuatu di luar jendela daripada apa yang beliau terangkan di dalam kelas, maka Mr. B akan menyuruh kita keluar. Hal lainnya adalah beliau sering memberikan wejangan bahkan ketika kami terlambat atau tidak bisa menjawab soal yang beliau berikan. Saya menanggapinya positif, namun sepertinya tidak bagi sebagian besar teman-teman saya. Rasa takut tampaknya terlalu besar sehingga ketika Mr. B bertanya, sebagian besar lebih memilih diam.
Yang saya kagumi dari beliau adalah, beliau mempersilakan mempelajari buku lain dan mendiskusikan soal yang tidak biasa di kelas. Murid pun boleh mencari soal.

Sewaktu SMA, guru favoritku Mr. C dan Mrs. D

Mr. C adalah guru biologiku. Hm, cara belajarnya lebih mirip sama Mr. B tapi nggak galak-galak amat. Beliau lebih suka mengajak kami belajar di lab, walaupun tidak praktek. Yah, mungkin untuk membangun lingkungan belajar yang mendukung? May be…

Mrs. D adalah guru bahasa Inggrisku. Wah beliau memiliki strategi belajar yang unik. Mulai dari membuat tempat duduk berbentuk lingkaran sehingga kami bisa berdiskusi lebih nyaman, bahkan beliau membuat cerita yang mengasyikkan dalam bahasa Inggris sehingga kami mendengarnya seperti berbahasa ibu. Mudah dimengerti.

Mereka adalah beberapa orang yang menginspirasi saya akan perubahan dalam cara mengajar seperti mengisi botol kosong. Ada banyak cara kreatif yang bisa mengasyikkan…bagaimana dengan Anda?

Selasa, 10 Agustus 2010

Ramadhan

A Hope from Best Friend




Doa seorang yang rindu akan sahabat-sahabatnya:
Tuhan, berikanlah kemudahan bagi mereka dalam meraih kesuksesan
Ingatkanlah selalu akan diriku untuk selalu menantikan kabar mereka
Pertemukanlah kami ketika kami sukses nanti…

Sabtu, 07 Agustus 2010

Buwa Yamera

Hidup ini unik buat orang-orang yang suka mengamati kejadian yang ada di sekitarnya. Celetukan orang yang sekejap saja bisa jadi cerita yang menghibur orang kalau kita pandai mengolahnya. Hm, sebenarnya kita kaya akan inspirasi kalau kita mau menghargai setiap detiknya.

Mungkin aku termasuk di dalamnya. Entah kenapa, aku lebih suka menikmati perjalanan pulang ke kampung menggunakan bis daripada kereta. Padahal, kereta lebih cepat daripada bis (kecuali kalau keretanya ngaret, berhentinya terasa lebih lama dibandingkan macet di jalan raya). Alasannya, aku lebih menikmati pemandangan dan aktifitas orang yang ada di jalan raya ketimbang di kereta. Memang, berada di kereta lebih tenang, lebih nyaman. Tapi menurutku justru kebisinganlah yang kita butuhkan ketika kita sendirian.

Aku juga tidak tahu, bagaimana bisa waktu perjalanan yang lama dan kebisingan itu membuat imajinasi berjalan ke mana-mana. Contohnya saja, kehadiran pengamen jalanan yang menghibur lewat lagu-lagunya bisa membuatku nyaman menunggu bis yang sedang mengisi bensin. Biarpun lama, tapi ada sesuatu yang meredam kemarahan. Tapi, ketika kita melihat pengamen di bawah umur dipaksa untuk menyanyi (walaupun kedengarannya bukan menyanyi) dengan modal ecek-ecek di tangan, bukan kenyamanan yang aku rasakan. Justru otakku lebih cepat berpikir, kenapa orangtuanya begitu tega melepas anak kecil ini ke jalanan. Aku jadi berpikir jangan-jangan orangtuanya sengaja memakaikan baju terbaik untuk anak ini. Aku pun merasa mereka tidak menyanyi dari hati, tapi sekedar untuk memperoleh uang. Namanya juga anak kecil, jadi banyak dari mereka yang masih cadel atau hanya menggumam. Hal ini membuatku ingin meyakinkan pada semua orang: Bekerjalah di suatu bidang yang kau kuasai, pakailah imajinasimu sehingga menghasilkan sesuatu yang kreatif, dan PENGAMEN bukanlah satu-satunya profesi! Hm, kadang-kadang si ibu pun ikut menemani anaknya menyanyi. Ketika si anak kurang nyaring atau tidak mau menyanyi, si ibu tidak segan memarahi si anak di dalam bis dengan suara nyaring sehingga ini tidak bisa disebut dengan 'hiburan'. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, si anak yang di bawah umur diperintahkan menyanyi lagu Gebi oleh ibunya. Namun ia hanya mengulang kata-kata "Pernah ada…pernah ada…". Si ibu marah, "Pernah ada! Pernah ada aja sih!" kontan penumpang pun tertawa, tapi menurutku itu keterlaluan. Masih ada obyek lain yang menjadi perhatianku saat di perjalanan, dan aku menikmatinya.

Suatu hari, saat pulang kampung, di dalam bis ber-AC. Mataku mulai lemah untuk menatap dunia (cieh…bilang aja ngantuk!). Kebetulan, aku duduk di kursi depan. Saat itu kondektur dan sopir tengah berbicang-bincang dan aku tak tahu mereka membicarakan apa. Kemudian, si kondektur tertarik dengan tulisan yang ada di bak truk di depan bis.
Kondektur: Tulisan apa itu? Bu...wa…ya…me…ra (si kondektur mengeja)?
Pertanyaan ini membuatku juga mengamati tulisan di depan dan berhasil membuatku terjaga.
Sopir: Ah, itu sih tulisan orang yang nggak bisa ngeja!
Dalam hatiku: Ih kok sombong amat sih pak sopir ini! Mungkin saja kan itu ejaan orang timur atau pedalaman? Saya menyangka itu sama dengan YAMKO RAMBE YAMKO atau apalah…
Kondektur: Kok bisa?
Sopir: Iya, maunya orang itu mau nulis BUAYA MERAH, tapi karena tidak bisa ngeja jadinya BUWA YAMERA!
Aku tersenyum, benar juga. Penumpang lain yang duduk di depan pun tertawa.

Ah, perjalanan...

Jumat, 06 Agustus 2010

Missing That Time (3)

Aku akan menulis tentang sekumpulan orang yang memilih untuk bersama. Memang, untuk diriku sendiri mereka adalah sekumpulan orang yang juga tidak sempurna. Aku benar-benar bisa menemukan tempatku di antara mereka. Di dalam kumpulan ini, aku benar-benar diperlakukan sebagai teman, sebagai manusia. Ketika aku bersama mereka, seakan-akan aku dibawa menyusuri tawanya, walaupun sebenarnya bukan diriku yang mengalami kesenangan itu, tapi dalam cerita mereka seakan-akan akulah peran utama yang mereka perbincangkan, dan itu membuatku tertawa. Entah, perbedaan yang benar-benar mencolok di antara kami menjadi samar. Kami bisa berjalan sejajar dengan tetap memahami siapa yang berada di samping kami.
Padahal kami benar-benar tahu, masing-masing dari kami memiliki egois yang luar biasa besar.
Kami mengakuinya tanpa perlu menuliskan sebuah perjanjian.

Di lain sisi, aku pun mengalami waktu di mana aku merasa bahwa merekalah orang terjahat di dunia. Aku pun pernah merasa bahwa mereka orang yang tidak mau memahamiku.
Orang-orang ini terkadang cukup tertutup, cukup jahat untuk tidak berbagi dengan orang yang mereka anggap teman dekat.
Orang-orang ini terkadang cukup banyak alasan, cukup meragukan untuk disebut sebagai teman dekat.
Orang-orang ini terkadang terlalu banyak teman, sehingga cukup merepotkan juga untuk diajak berbicara sebagai teman dekat.
Orang-orang ini terkadang cukup pendiam sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada mereka.
Orang-orang ini terkadang terlalu memerintah, sehingga cukup lelah untuk mendengarkan mereka dan lebih memilih untuk menyerah saja.
Tetapi, orang-orang ini terkadang terlalu cepat hilang sehingga mereka cukup pantas untuk dirindukan.
Merekalah orang-orang pertama yang secara 'lancang' mengkritik diriku secara ramai-ramai. Mereka yang dengan 'lancang' berkata apa adanya tentang diriku. Membuat hatiku menciut, ingin marah, memberontak, tapi aku masih bisa tersenyum.

Namun, aku menjadi lega karena justru itu membuatku mengerti bahwa aku belum benar-benar mengenali diriku sendiri. Aku menjadi tahu siapa aku dan bagaimana aku. Itu membuatku sadar bahwa sebenarnya:

  • Ketika aku merasa bahwa merekalah orang terjahat di dunia karena merekalah orang terdekatku
  • Ketika aku merasa bahwa mereka orang yang tidak mau memahamiku karena aku memang benar-benar membutuhkan mereka

Bagaimanapun, soerang teman belum layak dikatakan sebagai teman ketika mereka belum mengalami konflik. Siapa bilang mereka rukun? Pertengkaran mereka jauh lebih sering dibandingkan kekompakannya. Satu orang membicarakan yang lain di belakangnya. Mereka berbicara tentang kelayakan, sifat buruk, sampai kemarahan yang jauh lebih jahat. Namun, seiring dengan waktu kami memang dipaksa untuk bersikap lebih dewasa. Kami akhirnya menemukan bahwa esensi dari hubungan ini adalah perbedaan. Kami menyebutnya keunikan. Ya, baik buruk masing-masing di antara kami memang itulah diri kami.



Kamis, 05 Agustus 2010

Missing That Time (2)


Ada yang bilang masa-masa paling indah adalah masa SMA. Setuju nggak? Ah setuju aja deh :D

SMA, masa-masa 'pencarian jati diri'. Justru saat itu kami merasa bebas bertindak kekanak-kanakan. Beruntungnya, aku tergabung dalam kelas yang kompak (atau bandel). Sebagian besar murid laki-lakinya terkenal bandel. Saya masih ingat beberapa hal yang membuat kelas kami disukai murid kelas lain:


  1. Punya pemerintahan yang nyantai. Ya, pemerintahan di sini adalah perangkat kelas. Tapi, saat itu aku merasa semua anggota kelasku punya jabatan 'ketua kelas' sebab tidak ada yang dominan. Semua berhak berbicara. Yah, kadang-kadang diperlukan penengah.
  2. Punya mading kelas. Kalau bicara soal kreatifitas di kelas kami nggak ada habisnya. Mading kelas kami ada pengelolanya. Semua bebas menulis. Selain itu, ada tempelan kertas putih di pintu pembatas dengan kelas sebelah yang penuh testimoni dan tanda tangan seluruh anggota kelas. Bahkan setelah lulus ada yang masih ingin membawanya pulang untuk kenangan. Sayang sudah tidak ada. Mengenai tanda tangan, ada yang lebih menghebohkan lagi. Saya pernah iseng mencoret ubin lantai dengan tipe-x. Saya membuat tanda tangan saya sebesar kotak ubin. Tampaknya, ada teman saya yang tertarik, jadilah satu kelas meniru langkah saya mengabadikan tanda tangan di atas ubin. Eh...baru beberapa waktu, guru matematika saya saat itu berjalan ke belakang. Beliau melihat hasil karya kami. Kami kira beliau senang, ternyata...marah! Sebelum coretan kami dihapus, beliau tidak akan mengajar lagi. Alhasil, kami kelimpungan mencari minyak gas. Ah, sayang...
  3. Setiap jam kosong kami punya 'ritual' rutin. Mengosongkan kelas menuju musholla. Bagi teman-teman yang melihat kami beramai-ramai ke musholla mungkin kagum, padahal kami ke sana belum tentu beribadah...ngadem aja. Kami pernah merasa bersalah pada seorang guru yang mendapati kelas kami kosong, kami kira beliau tidak masuk.
  4. Nah, ini yang paling disukai teman kelas lain. Target jalan-jalan kelasku banyak.








Hmm...sekarang kami terpisah mengejar impian dan cita-cita kami masing-masing. Setiap individu ternyata punya mimpi sendiri. Aku yakin, Tuhan akan mempertemukan kami kembali di saat sukses. Amin.

Rabu, 04 Agustus 2010

Enam Puluh Lima Batang Lilin

Dalam kegelapan ini, aku mencoba menata enam puluh lima batang lilin
Lilin-lilin ini akan menjadi pewarna
Lilin-lilin ini akan menghilangkan sejenak semua beban yang memperberat pundak pertiwiku

Ketika lilin-lilin ini genap enam puluh lima,
Akan kubiarkan siapapun menyalakan sumbunya
Sepanas itulah semangat kami
Seterang itulah harapan kami

Ketika lilin-lilin ini genap enam puluh lima,
Akan kubiarkan siapapun bernyanyi dengan menepuk tangannya
Nyanyian kebanggaan akan pertiwi ini
Segembira itulah kami menyambut dirgahayu ini

Ketika lilin-lilin ini genap enam puluh lima,
Akan kubiarkan siapapun membisikkan harapannya
Doa untuk pertiwi supaya ia tak membungkuk lagi menanggung beban di pundaknya
Akan kami yakinkan bahwa ia tak perlu berjuang sendiri, ada kami di sini


(Puisi ini diikutsertakan dalam Gelar Puisi Aku Cinta Indonesia)

Selasa, 03 Agustus 2010

Missing that Time (1)




Akhir-akhir ini memang aku begitu terbayang dengan kenangan MOS, DIKLAT. Wah, kapan ya aku bisa punya teman organisasi seperti OSIS EXCELLENT? Hm…foto mereka aku bawa ke Surabaya. Juga PADUWA. Kalau aku kangen, aku tinggal menoleh, tapi itu tidak cukup untuk mengobati kangenku.

Waktu SMA, aku ingat bergabung dengan mereka awalnya dengan suatu keraguan. Maklum, aku berasal dari SMP luar kota. Praktis, aku tidak memiliki teman akrab yang sepenanggungan ketika masuk di SMA. SMA ini, terkenal dengan OSISnya yang disiplin. Tidak bisa dipungkiri, saat aku menjadi murid baru aku keder mendengarnya. Penampilan mereka gampang dikenal: seragam kebesaran mereka -atasan putih lengan panjang dan bawahan abu-abu-, topi yang kalau tidak dipakai diselipkan di ikat pinggang bagian belakang, kaos kaki panjang 10 centimeter di bawah lutut, dan sepatu fantovel. Tampak elegan. Siapapun yang melihatnya, pasti langsung bisa menebak kalau mereka berasal dari SMAku. Ya, memang bukan sekedar gosip. Memang terbukti saat aku MOS kakak-kakak OSIS memang menjadi pusat perhatian. Aku pun tidak tahu apa sebenarnya yang membuatku kagum kepada mereka. Kalau mereka waktu itu menjadi pusat perhatian karena memang suka mencari kesalahan murid baru, terus bentak-bentak, itu wajar. Tapi apa ya...melihat mereka menjadi satu kesatuan yang kompak, itu menimbulkan aura tersendiri buatku.

Berbekal nekat, aku pun ikut pemilihan pengurus OSIS waktu itu. Ya, aku memang tidak kenal siapa-siapa. Keraguanku menjadi sebuah keyakinan ketika aku mengenal sosok Sari, teman sekelasku yang juga ingin mengikuti seleksi.

seleksi saat itu diadakan selama 3 hari. Hari pertama, tes tulis. Aku dan Sari lolos. Hari kedua, interview. Aku dan Sari lolos. Hari ketiga, pemecahan kasus. Sayangnya, aku tidak lolos. Namun aku masih bisa bersyukur Sari lolos. Pengumuman di mading saat itu tertulis bahwa panitia akan membuka pendaftaran gelombang kedua. Namun aku menemui keraguan lagi. Maklum, sudah lelah dan jarak rumahku yang jauh dari sekolah memperkuat keraguan itu. Saat itu, Sari sudah memulai kesibukannya di Ruang OSIS yang menurutku 'Ruangan Eksklusif'. Suatu keberuntungan, di jalan menuju kelas aku berpapasan dengan Sari yang terlihat terburu-buru. Ia menyapaku, "Kin, kamu harus ikut gelombang kedua ya, ayo aku dukung kamu!", kemudian ia pergi menyusul kakak-kakak OSIS yang lain. Singkat namun bermakna. Beberapa detik itu, membuat semangatku bangkit lagi.

Ketika seleksi gelombang pertama aku sempat berkenalan dengan Rizka. Aku bertemu dengannya di depan kelasku. Aku menanyakan kepadanya apakah ia akan ikut lagi seleksi gelombang kedua. "Ya", jawabnya. Dan kami bertemu kembali di seleksi kedua.

Singkat cerita, dengan model seleksi yang sama, aku dan Rizka diterima. Dan ternyata di seleksi kedua hanya mengambil dua orang saja. Itu berarti aku dan Rizka orang-orang terakhir yang menggenapi pengurus baru! Kemudian beberapa teman yang lolos seleksi pertama pun datang mengerubungi mengucapkan selamat. Aku merasa beruntung, bahwa di seleksi aku dan Rizka diberangkatkan bersama saat memasuki pos interview. Mungkin saat itu kakak-kakak menguji kelayakan kami? Aku juga pernah diberitahu oleh seorang kakak bahwa sebenarnya mereka menguji apakah aku benar-benar berniat menjadi pengurus OSIS dengan jarak rumahku yang jauh, dan ternyata, I came to the second time...

Ah...perjuangan memasuki organisasi ini cukup panjang. Itu alasanku mencintai organisasi ini sampai sekarang dan berharap menemukan atmosfir yang sama seperti saat itu di tempat lain. Dengan perjuangan yang membuat kami menjadi saudara sepenanggungan, kami menjadi rindu untuk hadir dalam setiap rapat yang bagi kami adalah sebuah percakapan sederhana. Dengan persaudaraannya, membuat kami mempelajari karakteristik masing-masing pengurus. Kami tidak hanya tertawa tergelak bersama saat rapat, kami juga pernah bertengkar saling silat lidah. Perjuangan itu, membuat kami cinta pada 'pekerjaan' ini.

Saat menjadi senior di organisasi ini, giliranku ikut serta dalam pemilihan pengurus baru. Jadi begini rasanya memperdebatkan siapa saja yang layak masuk dalam organisasi ini. Dulu, mungkin aku juga diperdebatkan seperti ini. Sayang rasanya mendengar bahwa saat aku lulus, memasuki organisasi ini begitu mudah. Semua hampir dikendalikan guru. Aku takut nilai esensialnya kurang. Aku takut nilai perjuangan itu kurang sehingga 'penerus' kami tidak merasa cinta terhadap organisasinya. Terhadap keluarganya.

Hm...aku beruntung memiliki mereka...

(Terima kasih kepada teman-teman OSIS HORAS, OSIS BEDA, dan OSIS EXELLENT, kalian guru bagiku)